HIBAH
“Hibah” itu sebuah kata serapan. Bila dilihat dari segi bahasa, di ambil dari kata dalam Bahasa Arab yang memiliki arti melewatkan atau menyalurkan
Oleh sumber lain dijelaskan bahwa hibah itu mempunyai 2 (dua) pengertian. Secara umum hibah dapat diartikan memindahkan kepemilikan barang kepada orang lain ketika masih hidup. Arti hibah secara khusus adalah pemindahan kepemilikan suatu benda yang bukan suatu kewajiban pada orang lain ketika masih hidup dengan ijab dan qabul tanpa mengharapkan pahala atau kerena menghormati dan juga bukan karena menutupi kebutuhan (Depatemen Agama RI, Ensiklopedia Islam, Jilid I, hlm 360)[1].
Hibah kemudian mendapat pengertian baru ketika digunakan dalam administrasi Negara (pemerintahan) pasca reformasi. Konsep hibah itu kini menjadi: “pengalihan kepemilikan Barang Milik Negara dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah atau kepada pihak lain tanpa memperoleh penggantian” (Pasal 1 Ayat (18) PP Nomor 6 Tahun 2006).Lebih spesifik lagi “hibah adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah Negara asing, badan/lembaga dalam negeri atau perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali (Pasal 1 Ayat (7) PP Nomor 57 Tahun 2005)[3].
Hibah yang diberikan kepada daerah adalah sebagai salah satu bentuk hubungan keuangan antara Pemerintah dan Daerah untuk mendukung pelaksanaan kegiatan daerah dan dikelompokkan sebagai salah satu komponen “lain-lain pendapatan” dalam APBD. Penerimaan ini bersifat tidak mengikat karena tidak harus dibayar kembali oleh daerah (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Hibah Kepada Daerah).
Dengan memperbandingkan perbedaan konsep dan praktik dalam era dan rujukan yang berbeda, maka hibah adalah terminologi baru dalam administrasi pemerintahan Indonesia yang mengiringi kemunculan reformasi. Tentulah tidak dimaksudkan untuk tidak membenarkan aktivitas serupa pada era sebelumnya, baik yang terkait dengan hubungan pusat dan daerah (nasional) maupun yang terkait dengan kerjasama internasional.
Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah.
-Asas keadilan yaitu terdapat keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan obyektif.
-Asas kepatutan yaitu tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional.
- Asas rasionalitas yaitu keputusan atas pemberian hibah benar-benar mencapai sasaran dan dapat dipertanggungjawabkan;
-Asas manfaat untuk masyarakat yaitu bahwa keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Pada prinsipnya pemerintah dapat memberikan hibah berupa uang/barang atau jasa kepada pemerintah daerah , perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan sesuai kemampuan keuangan daerah. Dan begitu juga Pemerintah daerah dapat memberikan bantuan sosial berupa uang/barang kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sesuai kemampuan keuangan daerah. Intinya adalah pemerintah daerah dapat memberikan hibah dan bantuan sosial dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, yang dapat dipahami bahwa anggaran pendapatan dan belanja tidak dalam keadaan defisit.
Pemberian hibah dilakukan setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan wajib, dan pemberian bantuan sosial dilakukan setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan wajib dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas dan manfaat untuk masyarakat. Dengan demikian pemberian hibah dan bantuan sosial dapat diberikan jika seluruh belanja urusan wajib sudah terpenuhi atau tidak ada lagi belanja satuan kerja (urusan wajib) yang tidak teranggarkan.
Pemberian hibah ditujukan untuk menunjang pencapaian sasaran program dan kegiatan pemerintah daerah dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat untuk masyarakat. Dipahami bahwa hibah yang diberikan kepada penerima memang harus benar-benar menunjang pencapaian sasaran dan kegiatan pemerintah daerah, dan tidak untuk menunjang pencitraan kinerja apalagi untuk tujuan trade in influence(perebutan pengaruh).
Mekanisme pemberian hibah
Pemberian hibah harus memenuhi kriteria sebagai berikut;
(a) peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan. Dipahami bahwa peruntukan hibah secara spesifik telah ditetapkan baik dalam Peraturan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Daerah, dan Naskah Perjanjian Hibah Daerah;
(b) tidak wajib, tidak mengikat dan tidak terus-menerus setiap tahun anggaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan;
(c) pemberian hibah tidak mengikat pemerintah daerah dan tidak ada kewajiban pemerintah daerah untuk menganggarkan terus-menerus setiap tahun anggaran. Tidak terus-menerus setiap tahun anggaran adalah tidak mengulang-ulang;
(d) Memenuhi persyaratan penerima hibah;
(e) kriteria lainnya dapat ditambahkan dalam Peraturan Kepala Daerah tentang Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan dan Penatausahaan, Pertanggungjawaban dan Pelaporan serta Monitoring dan Evaluasi Hibah dan Bantuan Sosial, sesuai kebutuhan daerah masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD, yang diubah dengan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012.
Hibah dan Bansos Masih Diperlukan Salah satu fungsi pemerintahan adalah fungsi pemberdayaan dimana pemerintah harus mampu memberdayakan warganya sehingga dapat menjadi sumber daya manusia yg tangguh dan berkompeten demi meningkatkan ketahanan bangsa.
Pemberian bantuan sosial kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus-menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Tidak secara terus-menerus terbuka kemungkinan bahwa pemberian bantuan sosial dapat dilakukan setiap tahun anggaran namun ada batas waktunya jika resiko sosial sebagai sasaran pemberian atau penerima bantuan sosial sudah terlindungi atau sudah dianggap terlindungi dari kemungkinan resiko sosial.
resiko sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana alam yang jika tidak diberikan belanja bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.
Pemberian hibah yang bersumber dari APBD dapat berupa uang, barang atau jasa. Sedangkan untuk pemberian bantuan sosial yang bersumber dari APBD dapat berupa uang atau barang.
Dari peraturan yang ditunjuk oleh R.E.Foundation untuk dijadikan sebagai rujukan ketat dalam yaitu Permendagri No. 21 tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Permendagri nomor 13 tahun 2005 tentang Pengelolaan penyimpangan bagi semua pihak. Tidak cukup alasan untuk mengkhawatirkan uang Negara akan diselewengkan melalui distribusi atau alokasi APBD secara ilegal.
Tetapi mengapa hal tersebut perlu di bahas? Seberapa buruk keadaan itu saat ini? Masalah yang kita hadapi saat ini adalah soal integritas. Integritas yang rendah membuat para pembijaksana kehilangan kenegarawanannya, menjadi koruptor (hidency atau terang-terangan), dan menyembah ketidak-adilan, irasionalitas dan subjektif menentukan kebijakan publik untuk diri dan kelompoknya.
Jika demikian tidak ada harapan perbaikan jika pun diabadikan lembaga extra-ordinary bahkan yang lebih hebat dari KPK dan diperluas dengan memiliki cabang dan ranting sampai ke Kecamatan dengan pertambahan staf hingga berbanding 1:10 dengan penyelenggara Negara yang akan diawasi.
Perlunya peraturan perundang-undangan tentang hibah
Sebenarnya sebelum Permendagri ini dikeluarkan pun tiap Kabupaten/Kota rata-rata sudah mempunyai aturan terkait pemberian hibah/bantuan sosial yang bersumber dari APBD masing-masing daerah. Namun karena perbedaan penafsiran dan kepentingan masing-masing daerah maka aturan tersebut tidak seragam serta terkadang tidak tegas dan jelas
Dengan adanya Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 diharapkan adanya keseragaman, ketegasan dan kejelasan dalam mekanisme pemberian Hibah dan Bantuan Sosial. Seperti kita maklumi bersama, sebelumnya pemberian Hibah/bantuan sosial rawan penyimpangan dan politisasi. Sebagaimana dilansir oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) atas hasil penelitiannya beberapa waktu yang lalu ada beberapa poin penting yang harus dikritisi terkait pemberian Hibah/Bantuan Sosial dari Anggaran Pemerintah Daerah baik itu Provinsi maupun Kabupaten/Kota: Pertama, adanya lembaga penerima bantuan hibah fiktif. Kedua, lembaga penerima hibah alamatnya sama serta daftar penerima hibah juga ditemukan nama penerima yang tidak jelas dengan alamat yang sama. Ketiga, Adanya aliran dana Hibah/Bantuan Sosial ke lembaga yang dipimpin oleh keluarga pejabat. Dana hibah banyak yang dialokasikan kepada lembaga-lembaga yang dipimpin keluarga pejabat. Keempat, dana hibah tidak utuh/dipotong. Nilai dana hibah yang diterima lembaga tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh otoritas pengelola keuangan dan aset daerah
Hibah kepada masyarakat diberikan kepada kelompok orang yang memiliki kegiatan tertentu dalam bidang perekonomian, pendidikan, kesehatan, keagamaan, kesenian, adat istiadat dan keolahragaan non profesional. Khusus untuk hibah kepada masyarakat persyaratannya ditambah dengan keharusan memiliki kepengurusan yang jelas dan berkedudukan dalam wilayah administrasi daerah yang bersangkutan.
Sementera hibah kepada organisasi kemasyarakatan ada klausul bahwa organisasi kemasyarakatan tersebut harus telah terdaftar pada pemerintah daerah setempat sekurang-kurangnya 3 tahun kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangan-undangan, berkedudukan dalam wilayah administrasi daerah yang bersangkutan serta memiliki sekretariat tetap. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah keharusan dicantumkannya alokasi anggaran hibah dalam KUA (Kebijakan Umum Anggaran) dan PPAS (Prioritas Plafon Anggaran Sementara) setelah usulan hibah tersebut diterima oleh kepala daerah, dievaluasi oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait dan direkomendasikan/dipertimbangkan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
Perundang-undangan tentang Hibah
Saat ini regulasi pemberian hibah danbantuan sosial yang bersumber dari APBD oleh Pemerintah Daerah baik Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat dikatakan “komplit”, walaupun sesungguhnya masih diperlukan berbagai peraturan pendukung lainnya sebagai penjelasan dari beberapa ketentuan yang butuh penjelasan dari Kementeraian Dalam Negeri.
Regulasi atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberian hibah dan bantuan sosial oleh pemerintah daerah adalah Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD yang ditetapkan pada tanggal 27 Juli 2011 dan diundangkan pada tanggal 28 Juli 2012. Kemudian pada tanggal 21 Mei 2012 telah ditetapkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD yang diundangkan pada tanggal 22 Mei 2012. Demikian pula sejak tanggal 3 Januari 2012 telah ditetapkan dan pada tanggal 4 Januari telah diundangkan PP Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah.
Sebelumnya regulasi pemberian hibah dan bantuan sosial hanya diatur dalam beberapa pasal dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006. Pemberian hibah hanya diatur dalam pasal 42, pasal 43 dan pasal 44, itupun sudah berulang kali diubah dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah terakhir diubah dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011. Demikian pula untuk pemberian bantuan sosial hanya diatur dalam satu pasal yakni pasal 45 dan terdiri dari 4 ayat dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006. Itupun sudah mengalami perubahan sampai dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011
Pertanyaannya, dengan berlakunya Permendagri Nomor 32 Tahun 2011, apakah ketentuan tentang pemberian hibah dan bantuan sosial yang diatur dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 beserta perubahannya masih berlaku? Berdasarkan pasal 43 huruf b Permendagri Nomor 32 Tahun 2011, dijelaskan bahwa “Penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban serta monitoring dan evaluasi pemberian hibah dan bantuan sosial mulai tahun anggaran 2012 berpedoman pada Peraturan Menteri ini”
Dengan demikian berdasarkan pasal 43 huruf b ini, maka ketentuan dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 yang diubah pertama kali dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 dan terakhir diubah kedua kali dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, tidak digunakan lagi dan tidak dapat dijadikan lagi sebagai pedoman dalam pemberian bantuan hibah dan bantuan sosial mulai tahun anggaran 2012. Dengan pengertian bahwa bukan mulai berlaku 1 Januari 2012, akan tetapi mulai berlaku untuk tahun anggaran 2012. Sangatlah berbeda pemahaman mulai berlaku 1 Januari 2012, dan dengan mulai berlaku untuk tahun anggaran 2012, sebab proses tahun anggaran itu dimulai dari proses penyusunan KUA dan PPAS sampai pengesahan RAPBD menjadi APBD yang dimulai pada minggu pertama bulan Juni Tahun 2011.
Demikian pula dengan berlakunya Permendagri Nomor 39 Tahun 2012, maka sesuai pasal 43, “Penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban serta monitoring dan evaluasi pemberian hibah dan bantuan sosial mulai tahun anggaran 2013 berpedoman pada Peraturan Menteri ini”. Pemahaman pasal 43 ini, bahwa pemberian hibah dan bantuan sosial selain berpedoman pada Permendagri Nomor 39 Tahun 2012, juga berpedoman pada Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 terhadap beberapa pasal yang belum diubah
Untuk pemberian hibah, selain berpedoman pada Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 dan Permemdagri Nomor 39 Tahun 2012, maka pemberian hibah yang bersumber pada APBD, juga diatur dalam PP Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah. Demikian pula untuk pemberian hibah dan bantuan sosial dalam penganggarannya juga diatur setiap tahunnya dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penyusunan APBD. Misalnya untuk tahun anggaran 2013. Berdasarkan Permendagri Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2013 pada lampiran V. Hal-hal khusus lainnya angka 26, maka untuk kebutuhan pendanaan dalam mendukung terlaksananya tugas dan fungsi Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) provinsi/kabupaten/kota, pemerintah daerah menganggarkan program dan kegiatan pada SKPD yang secara fungsional terkait dengan pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga. Ketentuan ini memberi arti bahwa kegiatan TP-PKK harus dianggarkan melalui program dan kegiatan pada SKPD, dan tidak dibolehkan lagi dianggarkan lagi melalui hibah maupun bantuan sosial.
Kesimpulannya adalah pemerintah daerah dalam memberikan hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari APBD sejak tahun anggaran 2012 sudah berpedoman pada Permendagri Nomor 32 Tahun 2011. Sedangkan untuk tahun anggaran 2013 selain berpedoman Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 juga berpedoman pada Permendagri Nomor 39 Tahun 2012. Dan untuk hibah juga berpedoman pada PP Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah.
-Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan hukum yang digunakan oleh orang muslim Indonesia meyebutkan (pada Pasal 171 huruf g), hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
-Hibah dalam KUH Perdata diartikan sebagai suatu persetujuan, dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. (Pasal 1666 KUH Perdata). Hibah diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang Perikatan Pada Bab X Pasal 1666. Dalam KUH Perdata diatur bahwa hibah hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada. Selain itu, konon undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup. Semua orang boleh memberikan dan menerima hibah, kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak mampu untuk itu. Tiada suatu penghibahan pun, kecuali penghibahan yang termaksud dalam Pasal 1687 (Hadiah dari tangan ke tangan berupa barang bergerak yang berwujud atau surat piutang yang akan dibayar atas tunjuk, tidak memerlukan akta notaris dan adalah sah, bila hadiah demikian diserahkan begitu saja kepada orang yang diberi hibah sendiri atau kepada orang lain yang menerima hadiah itu untuk diteruskan kepada yang diberi hibah) dapat dilakukan tanpa akta notaris, yang minut (naskah aslinya) harus disimpan pada notaris, dan bila tidak dilakukan demikian,maka penghibahan itu tidak sah.
-Dalam kaitannya dengan pengelolaan Badan Usaha Milik Negara/Daerah misalnya, Indonesia memiliki pengaturan baru (pasca reformasi) yakni dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Jika diperhatikan, ketentuan itu adalah merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. PP tersebut oleh sebagian orang dianggap telah menandai terjadinya perubahan paradigma dalam pengelolaan barang milik negara/aset Negara yang memunculkan optimisme best practices dalam penataan dan pengelolaan aset negara yang lebih tertib,akuntabel, dan transparan kedepannya.
-PP Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 27 ayat (2) menjadi dasar bagi Kemendagri untuk membuat penetapan status kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah secara nasional setiap tahunnya. Keputusan Mendagri Nomor 120-2818 Tahun 2013 tentang Penetapan Peringkat dan Status Kinerja Penyelnggaraan Pemerintahan Daerah Secara Nasional Tahun 2011 dapat menjadi contoh.
Tulisannya runtut, ijin untuk referensi ya.
ReplyDelete